Homeschooling Kami


Assalaamu'alaykum. Wr. Wb

Parent Hser yang dimulyakan Allah.. Perkenalkan nama saya Riskana Deniawati dan cukup dipanggil Rizka saja, saya berusia 36 tahun dan memiliki 2 orang anak. Yang pertama Agnia berusia 13 tahun dan Ibrahim 6 tahun. Saya berdomisili di Cibadak-Sukabumi.

Sebenarnya belum cukup berani untuk berbagi banyak tentang perjalanan homeschool kami. Tetapi mungkin tidak ada salahnya, barangkali memang ada parent yang satu pemikiran dan satu langkah dengan cara saya. Saya adalah seorang ibu yang hanya lulusan D1 akuntansi, itupun lulusan yang sudah lama sekali, sekitar 17 tahun yang lalu. Jadi ketika keputusan HS tunggal ini saya ambil, reaksi dari keluarga dan lingkungan jelas sangat kontra dan penuh cibiran. Latar belakang saya bukan seorang sarjana, keberanian yang cukup nekad, tanpa perhitungan dan berpotensi gagal, itu menurut pandangan mereka. Dan ujian yang termanis ternyata sang  suami tercintapun tidak memberi dukungan sama sekali. 

Mengapa saya memilih homeschool untuk kedua anak saya? Saya sadari kedua anak saya tidak cocok belajar di kelas, meski untuk Agnia pernah selama 6 tahun sekolah SD formal dan berprestasi, dia selalu berada di peringkat pertama. Tapi tidak melahirkan rasa nyaman dalam belajarnya. Begitupun Ibrahim, tidak berminat sama sekali untuk belajar di sekolah ketika hampir 3 tahun dia terbiasa melihat saya pernah mengajar di TK dan menjadi guru les. Dan kami bertiga survive tanpa dukungan dari siapapun.

Homeschool kami bukan school at home, tetapi unschooling sehingga tidak ada beban untuk saya mengajarkan sesuatu yang tidak bisa saya ajarkan dan tidak disukai anak. Saya bebaskan mereka belajar dengan passionnya masing-masing meski tetap ada aturan dan tetap harus disiplin. Jalan yang saya pilih terlihat keras karena tanpa dukungan dan teramat sederhana ketika melihat yang kami pelajari total tentang ilmu kehidupan.

Kurikulum yang saya pilih adalah kurikulum yang saya cipta sendiri yang saya yakin akan bisa memberikan yang terbaik untuk kedua buah hati saya. Pelajaran utama kami adalah pemahaman aqidah yang meliputi kepribadian islam, dan saya harus bekerja keras untuk menempa ini, kepribadian islam hanya akan terwujud ketika mereka memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami, sains kami ambil dari yang sederhana yang bisa kami langsung amati dari lingkungan secara langsung dengan buku panduan, dan yang terpenting harus ada keterikatan dengan Sang Pencipta, pelajaran bahasa saya  konsentrasikan untuk bahasa Arab dan English. Pelan-pelan yang bisa saya ajarkan dan selebihnya mengambil jadwal les di guru bidang studi untuk bahasa arab.

Bagaimana dengan bersosial? Alhamdulillah kemampuan bersosial keduanya cukup baik, mereka bisa menguasai tantangan berkomunikasi semisal berbicara dengan kepala regu damkar ketika saya mengajak belajar di luar rumah. 

Bagaimana dengan ijazah? Naaah ini, saya adalah ibu yang paling simple dalam menghadapi hal ini. Target saya bukan ijazah, jikapun memang diperlukan, bisa dipersiapkan beberapa bulan sebelumnya dan mendaptar ke PKBM setempat untuk mengikuti ujian.

Pelajaran yang difokuskan untuk Agnia adalah kepribadian islami dan berbagai keterampilan di rumah dari mulai terjadwal memasak, menjahit, menghafal Al-Qur'an (inipun disesuaikan dengan kemampuannya,  yang terpenting adalah mengamalkan). Rutin menulis karena cita-citanya selain menjadi ibu rumah tangga, dia bercita-cita menjadi penulis dan bicara tentang menulis bukan sekedar bicara tentang bakat tetapi konsistensi yang terlahir dari kebiasaan yang kuat.

Ibrahim masih melulu tentang bermain, dia bercita-cita menjadi arsitek dan dia sudah berkawan sekitar 3 tahun dengan permainan edukasi lego. Salah satu sarana yang menunjang imajinasi dia untuk eksplor tentang karya yang ingin dia cipta.

Homeschool kami cukup simple karena saya memang simple bahkan berbeda dari pegiat-pegiat HS lainnya yang berlomba menyamakan kompetensi akademis. Bagi saya tidak, saya selalu yakin dengan bismillah serta tekad kuat kedua anak saya bisa mengembangkan diri dengan baik. 

Parent yang dimulyakan Allah, pada akhirnya suami memberi dukungan penuh karena daya upaya saya dikehendaki Allah, perubahan di diri Agnia pun pesat. Dia bisa menuliskan satu quote yang membuatnya berbinar bahwa belajar tidak harus tersekat dinding kelas, belajar harus merdeka. Keluarga dan lingkungan perlahan mengakui bahwa saya punya karya yang tetap berharga. 

Inilah catatan sederhana saya. Untuk bisa bermanfaat tak perlu menunggu hebat karena proses selalu membuat kita akrab dengan upaya maksimal. Ini sudut pandang saya sebagai ibu yang tidak pernah mengenyam panjang dan indahnya bangku kuliah, saya yakin parent yang dimulyakan Allah yang memiliki kecukupan dalam ilmu akademis bisa melompat lebih tinggi tentang memberi dan membersamai para buah hati.


Komentar