Terapi Inner Child Secara Islami


Terapi Inner Child Secara Islami
Oleh: Rizka Agnia Ibrahim

Curriculum Vitae
Nama: Rizka Deniawati Adiatmadja
Nama Pena: Rizka Agnia Ibrahim
TTL: Cianjur, 8 Mei 1981
IG: rizka.agnia.ibrahim
FB: Rizka Agnia Ibrahim
WA: 0822-5872-8306


Bundas yang dirahmati Allah ... saya ambil sebuah kutipan yang luar biasa istimewa.

"Tidak ada pendidik calon anak kami nanti yang lebih baik dari ibunya." (Dodik Mariyanto).

Sungguh besar peran kita  untuk keluarga. Sehingga kita benar-benar perlu maksimal dalam mempersiapkan segalanya ketika masuk dalam gerbang pernikahan.
Namun, hari ini kebanyakan dari kita dibentuk dan fokus hanya untuk menjadi ahli di luar rumah.

Sehingga banyak abai terhadap peran-peran besar yang ada di rumah tangga. Menjadi orang tua memang tidak ada sekolahnya. Bahkan kita sebagai orang tua pun tak berpikir panjang ke arah sana untuk mempersiapkan anak-anak kita. Bahwa esok mereka akan menjadi insan dewasa yang memiliki keluarga dan kehidupan sendiri.
Kesalahan demi kesalahan turun temurun sehingga kita banyak menjejalkan pemahaman parenting yang terkadang tidak cocok dengan diri kita. Berulang kali merasa gagal dan jatuh. Merasa tak berguna menjadi orang tua.
Bundas yang dirahmati Allah ... setiap insan baik laki-laki ataupun perempuan yang telah dianugerahi buah hati oleh-Nya, maka sudah otomatis terinstall pula fitrah keayah-ibuan padanya.

Namun, ternyata tak banyak orang tua yang mampu menganalisis dan aware terhadap kebutuhan psikis diri sendiri.

Padahal proses mengasuh putra-putri tercinta itu perlu membersihkan hati dari seluruh ambisi sebagai orang tua serta inner child yang tertinggal.
Siapa dan apakah inner child tersebut?

Pengertian Inner Child:
Dia adalah bagian dari diri kita yang membuat kita memiliki perilaku kekanak-kanakan. Suara-suara yang tidak bisa kita ekspresikan di masa kecil. Jiwa masa kecil yang tertinggal di tubuh orang dewasa. Banyak fakta orang yang dewasa secara usia tapi memiliki pola pikir dan sikap seperti anak-anak.

Ada bagian masa kecil, suara batin yang terhambat berkembang sehingga menciptakan rasa tertekan, emosional, sampai kondisi berat yang terlahir dari rasa trauma.

Banyak di antaranya orang tua masa kini yang dibesarkan orang tuanya tanpa memperhatikan warna perasaan.

Kita sering dilarang untuk merasakan warna sedih, warna senang, warna marah. Semuanya serba mengambang. Yang jelas di mata kita adalah bagaimana cara orang tua memperlakukan kita.

Ada yang dibesarkan dengan sering dipukul, dibentak, dijewer, ditekan, direndahkan, dimanjakan.

Kebiasaan tersebut pun biasanya turun temurun. Terus berulang dan berulang. Membentuk pola yang sama dan menyedihkannya menjadi sebuah kesalahan yang panjang.

Tingkatan Inner Child:
Tingkat rendah, beberapa reaksi rasa kecewa dan marah, biasanya bisa disembuhkan oleh diri sendiri dalam waktu yang prosesnya mungkin tidak terlalu lama.

Tingkatan berat, kondisi batin yang terluka, tidak pernah punya kesempatan memiliki ruang untuk meregulasi emosi hingga melahirkan rasa trauma. Biasanya ini membutuhkan bantuan dari orang yang kompeten di bidangnya seperti psikolog.

Bagaimana kita mampu memberhentikan siklusnya hanya sampai di diri kita?

Jawabannya, tentu hanya diri kita yang mampu. Bisa dimulai dengan lebih aware terhadap kebutuhan psikis kita.

Sungguh betapa tak mudah menjadi orang tua karena kita tak banyak mau tahu dari jauh-jauh hari sebelum pernikahan terjadi. Kita cenderung mengikuti alur dan pola yang sama.

Di dalam Islam, setiap solusi dari  berbagai permasalahan itu lengkap. Asal kita mau mencari dan mempelajari.
Bundas yang dirahmati Allah ... sejenak renungkan. Adakah inner child itu di diri kita? Seberapa berpengaruh pada anak-anak kita?

Apakah karena kebiasaan ibu kita memukul tubuh kita dari kecil dengan sapu lidi, itu pun kita tiru dalam memperlakukan anak kita?

Atau hal lain yang semacamnya?

Ada yang terasa berat dalam jiwa sehingga sulit untuk keluar dari zona itu?

Mulai luangkan waktu berdialog dengan diri sebelum melewati tahapan demi tahapan proses penyembuhannya.
Mengapa harus berdialog dengan diri?

Agar mengenali diri kita kurang dan lebihnya. Sehingga akan memudahkan dalam memperbaiki kesalahan yang sudah mendarah daging.

Kita takkan bisa menjadi sahabat untuk buah hati. Ketika tidak kenal jati diri sendiri.

Sejenak Bayangkan:
-Bayangkan jika pemilik inner child tidak berupaya menyembuhkan diri. Ia akan menurunkannya kepada buah hati.

-Bayangkan jika sebuah rumah tangga dikendalikan oleh jiwa anak kecil.

-Bayangkan jika urusan rumah tangga didelegasikan kepada anak kecil.

-Samakah keputusan orang dewasa dengan anak kecil?

Mulailah Deteksi Inner Child di Diri Kita:
-Apakah ketika kita marah atau takut, lebih sering tidak bisa mengontrol diri seperti anak kecil?

-Apakah kita lebih suka bermain dibanding mengurus urusan rumah tangga?

-Apakah dalam memutuskan segala sesuatu, kita lebih terlihat seperti anak kecil atau orang dewasa?

Kenali Reaksi Emosi:
Saya sertakan tulisan Teh Ratih Sondari, M. psi. Beliau seorang psikolog:

Rasulullahu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Apabila engkau marah, maka diamlah.” Diucapkan sebanyak tiga kali (Riwayat Imam Ahmad, Al Bukhari dalam Kitab Al-Adab Al-Mufrad).

Kemarahan adalah pesan bahwa sesuatu tidak berfungsi sebagaimana mestinya di dalam hidup kita. Ketika kita merasakan emosi yang kuat (seperti marah atau takut), tubuh kita akan ikut mengalami perubahan.

Saraf simpatetis dalam sistem saraf otonom kita akan memberi sinyal yang menyebabkan perubahan di dalam tubuh yang memberikan energi tambahan bagi kita untuk bertindak dalam keadaan darurat. Ketika kita marah, tekanan darah kita meningkat, jantung berdetak lebih keras, napas lebih cepat, kadar gula di dalam darah meningkat (karena perubahan hormon adrenalin), otot menegang, dan tubuh kita dalam kondisi siap bertindak.

Perubahan fisiologis ini terkadang membuat kita sulit untuk tetap tenang ketika marah. Oleh karena itu, ketika sedang marah, maka duduklah dengan relaks agar tubuh kita mendapat pesan bahwa kita tidak sedang di dalam kondisi darurat untuk bertindak. Tarik napas dalam-dalam dan keluarkan perlahan agar tubuh kita mendapat suplai oksigen yang cukup, sehingga napas kita bisa kembali normal dan detak jantung kembali normal. Jangan membuat keputusan atau bertindak apa pun sebelum kita kembali tenang.

Rasulullahu Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum, hendaklah ia berbaring. [Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.


Perbedaan Orang Dewasa dengan Anak-Anak.

1. Anak-anak
-Senang bermain.
-Tidak berpikir jauh ke depan.
-Keinginan yang berubah-ubah.
-Agresif.
-Senang bereksplorasi, termasuk ketika sedang marah.

2. Orang Dewasa
-Cara berpikir matang.
-Seimbang dalam menempatkan emosi dan pemikiran yang melahirkan akal sehat.
-Berpikir sebelum berbuat.
-Bertanggung jawab.
-Tidak memaksakan kehendak.
-Tenang, tidak tergesa-gesa.

Mulailah melewati tahapan pembersihan jiwa (tazkiyatunafs).
1. (Dari yang pernah saya terapkan pada diri sendiri).

Mengingat kembali tentang makna hidup dan kehidupan. Mulai berhijrah secara tampilan, pola sikap, dan pola dalam berpikir.

Dari mana kita berasal? Akan bagaimana kita mempergunakan kesempatan hidup ini? Dan akan kembali ke mana diri ini?

Terpaut pada satu Dzat. Yakni, Allah. Meminta ampun dari segenap kesalahan yang telah dilalui.

Amalkan bacaan tasbih dan istighfar. Semakin rasa marah menekan. Semakin berjuang untuk memahami cara mengendalikannya. Ada Allah yang tentunya menjaga. Marah adalah bagian pesan bahwa sesuatu tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

2. Berdamai dengan diri. Ikhlas menerima jika di masa kecil kehidupan kita tidak baik. Tidak proporsional diberikan pola asuh yang maksimal. Pelan-pelan renungi dan relakan semua menjadi bagian takdir kita. Ridha dengan takdir. Tentu Allah sudah memberikan semua sesuai dengan kapasitas diri kita. Memilih sabar dan mengendalikan marah itu lebih utama.

3. Maafkanlah orang tua kita yang sudah sedemikian rupa memperlakukan kita. Pahami bahwa mereka pun korban. Beruntunglah kita, mendapatkan ilmu dan mampu memutus siklus tersebut dengan tepat.

4.Banyaklah menikmati kebersamaan bersama buah hati. Nikmati ritmenya. Lihatlah kejujuran tingkah polah mereka. Pahami pola asuh yang benar. Terapkan pada anak kita dengan maksimal.

Pahami saat kita bersama anak-anak. Mungkin ada perilaku mereka yang memancing emosi. Maka sadarilah, akan ada reaksi yang mengajak pemikiran dan perilaku kita ke pola pengasuhan masa kecil yang membuat kita memiliki inner child. Sesungguhnya dengan keberadaan anak-anak, kita lebih mudah mengenal kekecewaan, rasa takut, sakit hati, dan marah.

5. Perbanyaklah bersyukur. Lakukan evaluasi setiap hari. Kelalaian kita akan berdampak pada terlukanya fitrah buah hati kita. Jika tak diubah berarti kita berperan besar menghilangkan masa depan amanah yang diberikan pada kita.

6. Hukumlah diri dengan positif. Jika terlanjur salah dalam mengasuh. Jangan sungkan meminta maaf pada buah hati. Jangan lupa sering-seringlah memberi pelukan. Berikan ruang untuk mereka mengungkapkan kekecewaan terhadap kita. Bantu mereka meregulasi emosi yang terlanjur ada. Insya Allah, semakin cepat penyadaran akan semakin cepat pula ia terbebas dari dampak dan bahaya inner child.

Semoga Allah menguatkan kita dalam kesabaran.

“Barang siapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menjadikannya mampu sabar. Tidak ada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Mutafaq ‘alaih)

“Setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, berupa sakit yang berterusan, sakit yang biasa, kebingungan, kesedihan, kegundahan, hingga duri yang menusuknya, maka pasti musibah itu akan menjadi penghapus bagi kesalahan-kesalahannya. (Mutafaq ‘alaih)

Komentar

  1. Maa Syaa Allah. Jazakumullahu Khoyron ilmunya

    BalasHapus
  2. MashaAllah Teteh. Bisa untuk bahan renungan dan dibaca lagi dan lagi.

    BalasHapus

Posting Komentar