Ruang Kasih Sayang



Laki-laki kecilku tiba-tiba memeluk erat terasa berjuta harap terpancar di matanya. Pagi yang dingin terasa hangat, sehangat setiap harapan laki-laki kecil ini. Ibrahim, homeschooler ceriwis yang serba ingin tahu.  Usianya telah beranjak, 6 tahun lebih 5 bulan. Dia anak yang menyenangkan meski memang agak keras butuh banyak pelukan untuk melunakkan tipikalnya. Butuh ruang pengertian yang teramat luas untuk memahaminya. Butuh senyuman dariku di sela lelahku.

Ibrahim anak yang terkadang suka bertingkah seperti halnya tadi malam. Dia menyulap ruangan menjadi kreasi kapal pecah yang dia cipta. Plastisin yang dia beli kemarin siang, dia campur dengan bedak, air sabun dan berbagai bahan yang dia namakan bumbu. Selagi tak berbahaya, kuberikan ruang kebebasan untuk dia mencurahkan segala ide yang tergambar di benaknya.Sayang tak kuabadikan karena tubuh terasa teramat penat terlebih fokusku terbagi dengan kulwap kelas Bunda Sayang yang sudah masuk game level #3. Level yang semakin meningkat gabungan dari komunikasi produktif, melatih kemandirian dan projek keluarga. Butuh fokus dan konsisten untuk mengerjakan semua.


Semenggoda apapun rasa kesal dan nikmatnya mendidik anak, aku selalu mencoba mendamaikan bathin agar pelukan ini tetap terasa hangat. Bagaimanapun mendidik tidak seperti akuratnya mengatur bilangan yang berderet. Tak secepat itu, butuh gabungan pikiran dan langkah. Butuh gagal, butuh salah, butuh airmata, butuh marah, butuh terjatuh, butuh mengeluh dan mengaduh. Meski semuanya hanya bisa kuadukan pada pemilik jiwa raga laki-laki kecil ini. Untuk membuatnya mandiri, aku harus memahami kemanjaannya. Untuk membuatnya kuat, aku harus bijaksana memahami tangisannya, kuberikan ruang dan waktu untuk dia belajar mengerti warna sakit dan luka, makna dewasa, makna proses yang berharga.

Disaat yang lain mengatakan : " Masa anak laki-laki menangis, jangan cengeng dong kalau cowok, ah cemen. " Bagiku untuk Ibrahim bukan begitu, tetapi : " Menangislah nak saat kau ingin menangis dan terluka agar esok kau mengerti arti air mata ibumu, istrimu dan anakmu sehingga kau tak salah cara menghapusnya, marahlah nak jika kau kesal dan peluklah tubuhku agar esok kau mengerti rasa marah dan menempatkannya di tempat yang benar dan tepat."

Pelukan Ibrahim pagi ini begitu erat. Dia selipkan maaf yang bermakna : " Maafkan Aim ya ummi, semalam sudah membuat ummi makin cape."

" Tak apa sayang, nanti lagi langsung dibereskan ya agar lantainya tidak lengket. Belajar merapikan semua ya jika selesai belajarnya."



Dia tersenyum dan beranjak membawa buku-buku kesukaannya untuk dia pelajari bersama Agnia, kakaknya. Selalu ada makna yang tergali, apapun ujian itu, aku harus tetap menjadi pelabuhan terhangat bagi kedua buah hatiku agar mereka bisa tegar setelah rapuh, agar mereka bisa tangguh setelah jatuh. Setiap perjalanan terkadang butuh jeda untuk menguatkan kembali langkah. Memapah pasti ada salah dan payah dengan bismillah kuyakin segalanya bukan sekedar pasrah tetapi ada makna berserah. Bukan aku yang hebat saat mereka berhasil tapi Ada Allah yang telah berkehendak dan menemani.

Kubagi cerita ini untuk satu minggu satu cerita.


Komentar

  1. Sukaaaa cerita nya ,Bun.Anak saya usia 5 tahun,cowok juga.Pecah juga rumah, dan dasar saya Bunda pemalas

    BalasHapus
  2. Saya izin save ceritanya yaa bun.... Buat penyemangat mendampingi Bocah lanangku... Sukaa banget ceritanya. 😍

    BalasHapus
  3. Saya izin save ceritanya yaa bun.... Buat penyemangat mendampingi Bocah lanangku... Sukaa banget ceritanya. 😍

    BalasHapus
  4. Saya izin save ceritanya yaa bun.... Buat penyemangat mendampingi Bocah lanangku... Sukaa banget ceritanya. 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan bunda... Terima kasih klo bermanfaat..😍

      Hapus
  5. mbak Rizkaaa, ih tulisannya menyentuh dehh seperti biasaaa...

    BalasHapus

Posting Komentar