" Aliran Rasa " Melatih Kemandirian


Kutemui ruang sepi blogku. Kupintal doa dari segala kesenyapan rasa. Game level #2 sudah selesai tetapi perjalanan kemandirian itu harus terus berlangsung sampai akhirnya aku berani dan yakin melepaskan kedua buah hatiku membawa lentera hidupnya yang telah kubekali cahaya yang kunyalakan dan kuupayakan tak redup. Dari sisa-sisa kepayahanku kupenuhi segala rasa yang terbaik agar mereka tetap utuh merasa ditemani.

Agnia adalah anak gadis 13 tahun, dia hanyalah seorang remaja yang tengah memaknai hidupnya. Belum bisa dituntut untuk menjadi seorang chef sejati, belum bisa dipaksa untuk menjadi penata rumah yang handal, belum bisa diandalkan untuk menjadi penjahit baju yang piawai, dia baru sekedar menjadi anak yang ingin belajar bukan dengan kekerasan verbal, dia ingin dan bahkan terkadang bersandar di bahuku seperti adiknya. Butuh banyak ruang pengertian karena dia pun paham bukan ingin dimanjakan tapi dimengerti sebagai remaja seusianya. Bagiku dia sudah belajar. Dan aku bersyukur saat dia memahami bahwa tegas itu tidak perlu keras dan hanya bahasa itu yang baru bisa dia cerna sebagai bekal kelak untuk dia menjadi seorang ibu. Terkadang orang di sampingku terlalu tega(s) dalam memandang Agnia. Tetapi kuyakin semua akan tetap mendewasakan. Seperti halnya kemandirian Agnia yang banyak menyembuhkan luka. Baginya luka itu perlu agar segala kondisi dalam hidup tetap seimbang. Pelukanku yang mengajarkan arti senyuman dan keceriaan di balik diamnya. Dia sudah bisa melatih dirinya membantu tugas-tugas rumah dengan baik. Dari bangun pagi, belajar ilmu teori dan lebih banyak praktek dengan kegiatan-kegiatan di rumah.

Ibrahim buah hatiku yang baru berusia 6 tahun. Sungguh aku memapahnya tak mudah di balik kondisi unik ummu dan abunya. Aku harus melatihnya terkadang sendirian dan kubangun mentalnya agar terlahir menjadi jiwa yang kokoh. Kutemani dia tumbuh sesuai proses. Saat temannya dituntut calistung oleh ibunya, Ibrahim sudah terlatih membangun kemandirian untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhannya. Karena bagiku pendidikan itu harus muncul dari hati sehingga melahirkan mental pelajar yang sejati, pendidikan tidak bisa memancar dengan benar jika lahir dari otak saja. Dari bangun pagi, membantu Agnia dan belajar menjadi adik yang baik saat kutinggalkan sejenak.

Kubangun mental qonaah dari diri mereka meski susah payah. Kupajang bangunan-bangunan kemandirianku di benak mereka bukan sekedar lip service tapi gestur yang nyata agar senantiasa mereka bisa menemukan role model. Aku memang ibu yang tidak punya banyak teori ilmiah yang bisa melengkapi misiku sebagai mentor keduanya dalam kehidupan ini. Tetapi aku yakin luasnya kasih sayang ini telah membuat mereka merasa cukup.

Pada akhirnya Agnia tetaplah masih usia 13 tahun begitupun Ibrahim, dia laki-laki kecil 6 tahun. Aku ingin mereka cukup dengan kondisi yang seharusnya dalam usianya, sesuai fitrahnya. Mereka bukan ahli sulap yang bisa menyulap segala kondisi untuk sesuai dengan keinginan orang tuanya. Yang terpenting mereka berkembang benar sesuai syariat bagiku tak ingin ada cedera di bathin mereka, seperti halnya aku butuh waktu yang panjang menyembuhkan diri dari cedera bathin di masa kecil.

Aliran rasa ini kutulis di ruang sepi blogku. Agar esok menjadi saksi sejarah bagi anak-anakku. Aku ingin mereka punya cerita tentang hari ini bahwa mereka memiliki ibu yang meluaskan hati seluas samudera.



#GameLevel2
#AliranRasa
#KuliahBunsayIIP


Komentar

  1. Semoga anak2 berlayar sampai tujuan dengan bekal yang kita berikan, Aamiin!!

    BalasHapus
  2. Semoga anak2 berlayar sampai tujuan dengan bekal yang kita berikan, Aamiin!!

    BalasHapus
  3. Sukses untuk Teteh Agnia dan Ibrahim .....

    BalasHapus
  4. Sukses untuk Teteh Agnia dan Ibrahim .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih bunda Himmah sayang... Kita saling mendoakan ya..

      Hapus

Posting Komentar