Mencoba menulis cerita fiksi untuk 1minggu1cerita.
Namaku Lula, umurku sekarang 28 tahun. Aku seorang wanita pekerja keras, sabar kalau kata orang lain, cenderung perkasa karena aku terlahir menjadi anak perempuan yang tomboy. Sekarang aku memiliki 3 orang anak, Doni 14 tahun, Raina 9 tahun, dan si kecil Reza 3 tahun. Aku memiliki suami yang sangat baik.
Doni, anak sulungku yang membuatku semakin kuat menjalani kerasnya hidup. Kuingat perjalanan saat mengandungnya. Aku ingat usiaku waktu itu masih sekitar 16 tahun. Usia yang penuh ragam cita-cita, meskipun aku adalah anak yang telah ditinggal ayah menghadapNya, aku tetap bisa bahagia tinggal bersama ibu dan adik laki-lakiku. Aku sudah bisa mencari uang sendiri untuk biaya sekolahku, aku lumayan menguasai hal-hal yang berbau IT meski awalnya aku pekerja di warnet dan aku memang suka ngulik sehingga menguasai IT meski sederhana, lumayan waktu itu bisa menghasilkan uang. Doni kukandung dengan rasa bencana yang begitu membuncah.
Terasa kejam jika kutuliskan, teman laki-lakiku telah mencekokiku dengan narkoba, sehingga dengan leluasa dia bisa memperkosaku. Entah apa yang kurasakan waktu itu. Harapanku hancur, masa depan yang terbayang begitu indah seketika lenyap tak berbekas. Yang tersisa rasa malu yang menjulang dan pedih yang mengintai kehidupanku. Kucoba berlari dan mengingkari ini, tetapi ini nyata. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana nanti dengan ibuku? Adikku? Sekolahku? Guruku? Semua orang??? Kalap jiwa yang kurasakan, kuberanikan diri mengatakan pada ibu.
Derai air matanya membuatku hancur. Dia erat memeluk tubuhku dan menangisiku begitu lama. Seakan ada penyesalan di rongga dadanya, kurasakan begitu dalam dari peluknya. Akhirnya yang kutakutkan terjadi. Lula si gadis periang dan tomboy harus meninggalkan kelas dan para sahabat. Kukunci rapat cerita pahitku. Kubesarkan dengan cinta janin Doni. Sempat sesaat akad mempersatukanku dengan laki-laki yang merobek cita-citaku. Dan semua berakhir dengan perceraian, setelah dia tak lagi bertanggung jawab atas janinku dan diriku.
Kutelan rasa pahit dan aku terbiasa menyembunyikan semua tangisku di ruang kamar mandi. Aku tetap wanita tegar di usia muda. Kubesarkan Doni penuh cinta meski bukan dari cerita cinta. Bencana menjadi cara Doni hadir untuk hidupku. Akhirnya aku bertemu dengan laki-laki lain yang kini menjadi suamiku. Tanpa pacaran atau apapun, aku sadar dengan diriku. Dia seorang laki-laki yang lebih dewasa dariku meskipun dia belum pernah menikah, dan dia laki-laki yang memiliki kekurangan, cacat kakinya. Kekurangan yang menjadi kelebihannya. Kutekadkan untuk jadi penopangnya.
Keberadaan Raina dan Reza telah melengkapi rasa syukurku. Meski sesekali konflik kutemui antara suamiku dan Doni. Lagi-lagi, aku hanya bisa menangis di kamar mandi dan berpura-pura sakit mata. Bukan ini yang ingin kuberikan untuk suamiku dan Doni tetapi hidup selalu ada pembelajaran tentang luka, hingga akhirnya aku menguat kembali untuk istana kecilku. Kubaluti luka yang terasa.
Kini, Doni telah berusia 14 tahun. Dia anak yang cerdas dan sholeh, meski banyak ruang tak kondusif untuk hidupnya, dia tetap tegar melewati. Aku hanya berharap dia menjadi laki-laki tangguh, laki-laki yang kokoh dalam keimanan. Tak banyak yang kuminta, aku ingin Allah menjaganya karena kubesarkan Doni dengan penuh cinta meski bukan terlahir dari benih rasa cinta.
Telah lama kuikhlaskan ini menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Aku yakin Allah sangat menyayangiku. Tak ada alasan untukku berputus asa meski sesekali terasa luka, tapi kusadar Doni butuh kuatku bukan lukaku.
Komentar
Posting Komentar